SANG GERILIYAWAN DARI MOLOKU KIE RAHA
Oleh: Nanda Ramadana Rahman
Sri Paduka Maha Tuan Sultan Said’ul
Jehad Muhammad el Mabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Jou Barakti
Nuku,Sultan Tidore,Papua dan Seram.
Nuku
merupakan anak dari Sultan Jamaluddin yang saat itu menjabat sebagai Sultan
Tidore (1757-1779). Semasa kecil Nuku di kenal dengan sapaan Kaicil Syaifuddin
ia di lahirkan pada tahun 1738 namun setelah dewasa namanya pun berganti
menjadi Nuku. Nuku menghabiskan hampir separuh dari hidupnya untuk melawan para
kompeni Belanda di tanah Moloku Kie Raha.
Perjuangan
Nuku bermula ketika ayahnya Sultan Jamaluddin naik tahta (1757-1779). Pada masa
pemerintahan Sultan Jamaludin Belanda menuding orang Papua,Seram,dan rakyat
Tidore lainnya melanggar perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan Malikun
Manan. Belanda kemudian menuntut ganti rugi sebesar 50.000 ringgit namun Jamaluddin
menolak tuntunan Belanda. Perundingan demi perundingan telah terlaksanakan
tetapi ke dua pihak belum menemui kata sepakat akhrinya pada perundingan ke
sepuluh di tahun 1768,Belanda menyodorkan tawaran lain,bahwa uang 50.000
ringgit tidak perlu diganti asalkan Sultan Tidore menyerahkan wilayah Seram
Timur kepada Belanda.
Tawaran
tersebut disetujui oleh Sultan Jamaluddin tetapi keputusan beliau ditentang
oleh putranya Nuku. Nuku berpendapat bahwa Seram Timur hanya diserahkan berupa
gadaian dalam waktu beberapa tahun. Sayangnya protes Nuku tidak menuai hasil
apa-apa.
Merasa
gagal Nuku yang pada waktu itu berkedudukan sebagai panglima perang membentuk
suatu organisasi pergerakan bawah tanah untuk mencegah monopoli dan ekstripasi
Belanda. Nuku kemudian melalangbuana ke Papua dan Seram,hal ini ternyata
membuahkan hasil berbagai ekstripasi Belanda mengalami kegagalan.Honginya
diserang oleh orang Papua,Seram,Patani dan Maba.
Belanda
ternyata menaruh curiga pada Sultan Jamaluddin dan para putranya. Jamaluddin
kemudian dibuang ke Batavia dan meninggal di sana. Kompeni kemudian mengangkat
Gaizira sebagai Sultan yang dalam silsilah Kesultanan Tidore ini di anggap
tidak sah. Nuku yang saat itu berada di Papua kemudian melontarkan protes keras
kepada Gubernur Thomasen di Ternate. Belanda memahami betul watak Nuku maka di
persiapkanlah Patra Alam putra dari Gaizirah sebagai pangganti mahkota
Kesultanan Tidore. Gaizirah wafat pada bulan April tahun 1780,Gubernur Belanda
Cornabe mengangkat Patra Alam sebagai Sultan Tidore.
Tiga
bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 2 Juli 1780, Patra Alam di bantu oleh
kompeni Belanda menyerbu dan membumi hanguskan kediaman Nuku,tetapi
Nuku,istrinya beserta anaknya Abdul.Gafur berhasil melarikan diri ke Patani
menggunakan sebuah kora-kora. Saat di Patanilah Nuku kemudian menyusun
pasukannya untuk berperang melawan Belanda dan Patra Alam.
Membaca
kondisi zaman merupan salah satu keahlihan Nuku. Beberapa hari menjelang
penyerbuan terhadap Patra Alam,Nuku telah mengutus Kaicil Massa untuk segera
menemui komanda perang,Gubernur maupun para petinggi-petinggi lainnya di
Halmahera,Gebe dan Papua. Kepada mereka Nuku menawarkan opsi berpihak kepadanya
atau Patra Alam kaki tangan Belanda. Bagi yang berpihak datang dan berkumpul di
Patani beserta perlengkapan perang sambil menunggu Nuku datang dan memimpin
sendiri pertempuran tersebut.
Papua
dan Raja Ampat yang pertama menyatakan berpihak pada Nuku. Dikirimnya 50 armada
kora-kora Papua dengan ribuan prajurit dan waigama menyusul dengan 10
kora-kora,hampir seluruh kampung dalam wilayah Kesultanan Tidore mengirim
utusannya yang begitu banyak saking tak terhitung jumlahnya dan mereka
menyatakan sumpah setia terhadap perjuangan yang di pimpin Nuku.
Sebelum
pasukan-pasukan bertolak ke medan pertarungan Nuku di atas lambung kora-kora
kemudian menyampaikan pidato politiknya yang dikenal dengan sebutan empat
pesanan sakti yang berbalik diantaranya:
1.
Berawallah dengan dzikir dan bersandar
pada kekuatan luhur
2.
Jikalau engkau bertuan kepada Belanda
Negeri ini akan bermuram durja
3.
Jikalau engkau tidak menegakan keadilan
dan kebenaran,kelaut menjadi santapan buaya dan hiu,kedarat menjadi makanan
empuk binatang buas
4.
Jikalau engkau menggunakan pedang
bermata dua,lehermu sendiri akan memerah darah.
Setelah menyampaikan pidatonya maka berangkatlah
seluruh pasukan-pasukan Nuku ke medan pertempuran.
Awal Maret 187 pasukan induk Nuku
tiba di Seram Timur tanpa mendapat perlawanan berati dari Belanda dan bendera
kemerdekaan Kesultanan Tidore kembali berkibar di tanah Seram Timur, armada
Misol yang menjelajahi perairan Halmahera Selatan mencegat pasukan ekstripasi
Belanda di sebelah selatan Pulau Bacan,pasukan Nuku yang didaratkan di Labuhan
berhasil mengepung benteng Bernavel Belanda di Bacan,armada Belanda yang
dipimpin Van Dijk disergap mendadak oleh armada Nuku dan Van Dijk beserta anak
buahnya tewas dan sebuah pancalang Belanda “Windhond” yang dinahkodai Letnan
Muda Linke di serang kora-kora Papua beridentitas bendera Kesultanan Tidore.
Nuku bukan hanya lihai dalam
strategi tetapi beliau juga seorang diplomat ulung,hal tersebut mampu
dibuktikan ketika Nuku yang saat itu sangat khawatir akan di serang serempak
empat lawan maka diadakan perjanjian bilateral dengan Gubernur Ambon dan Banda.
Selama perundingn tidak ada serangan-serangan dari kedua belah pihak. Upaya
diplomasi Nuku ternyata berhasil,Nuku mampu meluluhkan hati Gubernur Ambon dan
Banda sehingga Nuku mampu menetralisir untuk sementara waktu lawanya di Maluku
Selatan (Ambon dan Banda),dari pintu gerbang belakang benteng Rarakit keluarlah
intruksi Nuku untuk menghadang Cransen dan Patra Alam agar mereka tidak
mengarahkan haluan ke Papua maupun Seram.
Cransen dan Patra Alam tengah sibuk
menghalau serangan armada-armada Nuku di perairan Maluku Utara. Pasukan induk
Nuku bertolak menuju Papua dan mengibarkan bendera Kesultanan Tidore tanda
kedaulatan dan kemerdekaan. Berkat kehebadan Nuku dalam merebut kedaulatn Seram
dan Papua baik secara peperangan maupun diplomasi membuat beliau di angkat
sebagi Sultan Papua dan Seram dengan gelar “Sri Maha Tuan Sultan Muhammad
Amiruddin Saifuddin Syah,Kaicil Paparangan” dengan segala adat dan kebesaran.
Kabar tentang pemulihan kedaulatan
Seram dan Papua beredar sangat cepat ke seantero Nusantara dan tersampaikan ke
telinga Gubernur Belanda di Batavia,Van Pluren marah besar. Hal ini ternyata
memicu ketegangan di antara Patra Alam dan Cransen. Cransen kemudian menawan
Patra Alam,beserta keluarganya dan dikirim ke Batavia pada 8 Maret 1784 dan
sebagai penggantinya diangkatlah Kamaluddin adik Nuku sebagai Sultan bonekanya
Belanda untuk merebut kembali Seram dan Papua dari Nuku. Ketika Sultan
Kamaluddin naik tahta berabgai kebijakan dan serangan yang diatur secara
sistematis berhasil di lancarkan,Nuku menjadi sasaran utama untuk ditangkap dan
dibunuh.
Setahun sudah Nuku dicari disetiap
jengkal perairan,daerah,maupun hutan. Barulah pada Bulan April 1791,terdengar
bertia bahwa Nuku bermarkas di pulau-pulau Gorong. Tanggal 21 Mei 1791, armada
Gobius mendarat di Gorong markas Sultan Nuku di Benteng Ondur ditemukan tak
berpenghuni maka ditancapakanlah bendera Belanda dan membunyikan terompet
kemenangan. Disaat genting inilah turun hujan lebat diiringi petir dan kilat
menyambar, tiba-tiba para tentara Nuku muncul diantara para tentara Belanda
pertarungan yang sengitpun terjadi dan berakhir dengan kemenangan Sultan Nuku
dan Kolonel andalan Belanda Worner Gobius tewang mengenaskan dengan leher
terputus bersimbah darah. Peristiwa bersejarah ini kemudian membuat Nuku diberi
gelar “Jou Barakati”,Sultan yang diberkahi Allah.
Rabu pagi
tanggal 12 April 1797,sebuah hari yang sangat bersejarah bagi masyarakat Tidore
yang kini terlupakan. Saat itu seluruh armada Nuku mengepung Tidore dari
berbagai sisi serta sepasukan kora-kora berpatroli dan menahan armada Kompeni
di Ternate agar tidak mengirim bala bantuan ke Tidore. Diatas anjungan kapal
Resource Nuku mengepalai langsung pendudukan atas Tidore. Perebutan kembali
Tidore tidak mendapat perlawanan dari Kamaluddin. Tidore berhasil direbut
kembali dan kedaulatan Kesultanan Tidore berhasil diraih,perebutan kembali
Tidore tanpa setetes darah ini kemudian di beri nama “Revolusi tanpa
pertumpahan Darah”.
Nuku akhrinya
dinobatkan sebagai Sultan Tidore dengan gelaran Sri Paduka Maha Tuan Sultan Said’ul Jehad Muhammad el Mabus Amiruddin
Syah Kaicil Paparangan Jou Barakti Nuku,Sultan Tidore,Papua dan Seram beserta
daerah-daerah taklukannya yang berkedudukan di Kadato Salero Malimau Timore
Soasio Tidore.
Daerah-daerah
yang berada dalam wilayah Kesultanan Tidore hidup sejahtera dan Sultan Nuku
selalu mengunjungi daerah-daerah kekuasaanya setahun dua kali yaitu pada Idul
Fitri dan Idul Adha dengan membawa kambing untuk di jadikan kurban. Nuku bukan
hanya saja lihai secara strategi dan diplomasi tetapi menjadi sultan yang
begitu bijaksana. Berkat perjuangannya yang begitu luar biasa serta sikap
konsisten dan bijaksana,Belanda menjulukinya Prince Rebel, Inggris menyapanya
“Lord Of Fortune”, rakyat menyebutnya Kaicil Paparangan,dan Jou Barakati.
Selaku manusia
kita pasti kembali padanya. Sultan Nuku akhirnya menghembuskan nafas terakhir
pada 14 November 1805. Pemerintah
Republik Indonesia kemudian menobatkan Nuku sebagai Pahlawan Nasional
berdasarkan Keppres No.071/TK/1995, Tgl. 7 Agustus 1995 dan dianugerahi bintang
Mahaputra Adi Perdana, yang disematkan kepada ahli warisnya, Hi Djafar Do
Yunus yang saat itu menjadi Sultan Tidore.
Daftar Pustaka.
--Rahman Muhammad,M. (2006).Mengenal Kesultanan Tidore .Kota
Tidore Kepulauan:Lembaga Kesenian Keraton Limau Duko Kesultanan Tidore.
Komentar
Posting Komentar